JAUH sekali jarak antara majelis hakim dan jaksa penuntut hukum dalam perkara Megamendung dengan terdakwa HRS. Pada umumnya, dalam persidangan di banyak negara, hukuman penjara diberikan hanya kepada terdakwa yang melakukan kejahatan kelas berat. Sedangkan denda diberikan kepada pelaku yang perbuatan pidananya dinilai ringan.
Apalagi saat besaran denda yang hakim putuskan berbeda tajam dengan nilai denda yang jaksa tuntutkan, maka kian nyatalah bahwa perbuatan terdakwa memang tergolong ringan. Pun karena hakim tidak mengirim HRS ke rumah prodeo, semakin terkoreksi anggapan komplotan buzzer bahwa HRS sejatinya bukan orang yang berpotensi membahayakan orang banyak. Denda memang cara untuk mengubah tindak tanduk terdakwa.
Tapi karena ia tidak dipenjara, maka bisa dipahami bahwa upaya mengubah terdakwa sama sekali tidak perlu dilakukan dengan menjauhkannya dari publik. HRS tetap dibolehkan beraktivitas asalkan tidak dengan melanggar prokes. Lalu bagaimana efek denda bagi HRS terhadap tingkat kepatuhan masyarakat pada prokes?
Apakah masyarakat akan menjadikan denda Rp 20 juta itu sebagai pelajaran? Semestinya begitu. Tapi…. Efek jera ditentukan oleh seberapa jauh proses penegakan hukum dilakukan secara cepat dan konsisten.
Dalam kasus HRS, proses hukumnya cepat sekali. Jadi, aspek kecepatan sudah terpenuhi. Tapi masih ada masalah pada konsistensi. Berbagai macam bentuk kegiatan yang terindikasi kuat melanggar prokes, bahkan yang sengaja dilakukan oleh sekian banyak pejabat negara, tokoh elit, dan selebritas, faktanya sampai saat ini tidak diproses hukum sama sekali. Padahal, beberapa di antaranya punya skala yang sangat besar.
Apakah mereka dibiarkan atau diam diam telah ditindak lewat restorative justice, tak ada kabarnya yang bisa disimak di media massa. Kalau mereka ditangani lewat restorative justice, lembaga penegakan hukum masih perlu menjelaskan mengapa masalah HRS tidak diproses dengan cara yang sama. Penyikapan terhadap pelaku pelaku pelanggaran prokes harus benar benar transparan dan akuntabel.
Jika diabaikan, akan terbaca kesan diskriminatif dan itu bukan watak kebangsaan yang baik dalam konteks penegakan hukum. Dan, ujung ujungnya, sikap tebang pilih hukum terhadap HRS dan terhadap pihak pihak ternama selain HRS akan membuat rendahnya derajat konsistensi penegakan hukum. Konsistensi yang rendah akan mengecilkan efek jera.
Efek jera yang rendah akan membuat masyarakat tetap santai melanggar prokes. Prokes dilanggar berakibat situasi pandemi semakin darurat. 'Sia sia' saja HRS diburu lalu didenda, kalau tak ada efek pembelajarannya bagi masyarakat.